KUNJUNGI SPONSOR

KUNJUNGI SPONSOR INI DULU BARU DAPETIN FREE KTI-SKRIPSI-THESIS OKE

Minggu, 29 November 2009

COMING SOON



selangkapnya..

Sabtu, 28 November 2009

Penanggulangan Permasalahan Sosial Kultural Akibat Ketidakhadiran Ibu Dalam Keluarga TKW Studi Kasus Terhadap Keluarga TKW Indramayu

Pendahuluan

Banyak perempuan muda yang berada dalam masa produktif di Indramayu memiliki motivasi kuat untuk menjadi TKW di luar negeri. Jumlah TKW yang keluar negeri ini meningkat drastis dari tahun ke tahun sehingga tampak tidak ada apa pun yang dapat menghambat mereka. Permasalahan ekonomi yang melanda kabupaten ini sangat mendukung motivasi TKW tersebut. Kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak berkembangnya ekonomi di wilayah di Indramayu dianggap menjadi biang keladi kepergian TKW. Kondisi ekonomi tersebut sebenarnya disebabkan oleh tidak berkembangnya industri di Indramayu karena kebijakan politik pemerintah pusat menetapkan Indramayu sebagai lumbung padi Jawa Barat. Ketetapan ini menyebabkan tidak adanya investasi untuk pembangunan industri. Padahal industri menyerap lapangan pekerjaan.Tidak ada lapangan pekerjaan juga berpengaruh kepada daya beli masyarakat Dengan demikian maka timbul efek melingkar yaitu tidak ada investasi menyebabkan daya beli rendah yang berakibat kepada enggannya investor menananmkan modal di Indramayu. Demikianlah seterusnya.

Selain itu mau tidak mau kebijakan dan program-program yang diselenggarakan pemerintah Indramayu pasti dilandasi oleh ketentuan pemerintah pusat yang menjadikan Indramayu sebagai lumbung padi Jawa Barat. Bersinergi dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang erat kaitannya dengan upaya mewujudkan lumbung padi Jawa Barat tersebut. Salah satu contoh adalah program Rice Center (embung) yang tujuannya menampung gabah petani agar tidak terjadi fluktuasi harga yaitu penurunan harga saat panen melimpah dan harga pupuk naik pada saat musim tanam. Singkatnya kita tidak dapat menyalahkan pemerintah daerah Indramayu ketika garis kebijakan dan program tidak kepada arah pembatasan pengiriman tenaga kerja keluar negeri
Kembali kepada permasalahan motivasi untuk TKW keluar negeri tinggi, aspek yang memiliki dampak terhadap motivasi ini, selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi juga dipengaruhi oleh permasalahan sosial budaya. Masyarakat Indramayu sudah terkontaminasi oleh budaya metropolis yang cenderung berfoya-foya. Keinginan untuk menjadi orang kaya dan hidup mewah ini mendorong baik perempuan maupun laki-laki untuk berlomba-lomba mencari penghasilan tinggi, bahkan dengan jalan pintas sekali pun. Uang selalu dijadikan faktor utama. Hal yang memperburuk adalah bahwa para anak perempuan terkondisi untuk mengikuti jejak generasi sebelumnya yaitu: ibu, bibi, dan tetangga. Mereka memperoleh informasi dan pelajaran dari generasi sebelumnya ini untuk dapat mendapatkan uang tanpa berpayah-payah.
Hasil penelitian mengenai dampak sosial kultural ketidakhadiran ibu dalam keluarga TKW di desa Dadap kecamatan Juntinyuat kabupaten Indramayu memperlihatkan bahwa pemerintah belum menaruh perhatian kepada dampak negatif ketidakhadiran ibu. Mereka melihat ada beberapa keluarga yang berhasil dan menjadikan mereka sebagai contoh. Meskipun pemerintah tidak memperhatikan dampak ketidakhadiran ibu ini, sasaran mereka disamakan dengan sasaran untuk daerah-daerah lainnya yaitu meningkatkan IPM. Upaya ini bukan hanya kurang berhasil karena permasalahan pendidikan anak dalam kelurga TKW tetapi juga tidak didukung oleh permasalahan sosial budaya. Keluarga–keluarga di desa Dadap kecamatan Juntinyuat kabupaten Indramayu berpendapat bahwa mengirimkan anaknya keluar negeri merupakan suatu idaman dan kebanggaan. Keberhasilan perolehan materi dari hasil bekerja dianggap sebagai suatu prestasi bagi keluarga. Permasalahan lain yang juga cukup sering disorot oleh berbagai LSM adalah child trafficking, AYLA dan PSK yang erat kaitannya dengan pendidikan anak di kabupaten Indramayu. Nilai yang mereka yakini tidak memasukkan unsur harga diri yang perlu ditanamkan kepada generasi berikut. Permasalahan ekonomi yang menghimpit, kebudayaan global yang masuk ke Indonesia melalui media massa baik koran, majalah, dan televisi serta sejarah kehidupan masyarakat Indramayu menyebabkan mereka tidak menganggap perlunya menghindari hal-hal yang menurut nilai yang kita anut dianggap kurang bermoral. Dalam kondisi ini mereka dibesarkan sehingga anak-anak perempuan di Indramyu secara alamiah mendapat pendidikan informal dari lingkungannya untuk menjadi PSK yang cakap.
Kedua alasan tadi akhirnya menuruti ‘efek bola salju’ bagi permasalahan daerah yang berkaitan dengan child trafficking, AYLA dan PSK. Melihat gejala ini tentu saja kita dari pihak akademisi yang diperhitungkan dapat mengkaji, menghubungkan permasalahan dengan landasan teori dan menemukan jalan keluar yang ilmiah tidak dapat berpangku tangan. Jadi hasil penelitian terdahulu yang akan dirinci dalam paragraf berikut perlu menjadi landasan dalam penelitian selanjutnya. Salah satu contoh: kami juga menemukan bahwa perempuan Indramayu merasa harus mengikuti tren dalam bekerja keluar negeri. Juga banyaknya perempuan yang pergi keluar negeri menyebabkan lingkungan pergaulan mereka menjadi terbatas sehingga salah alasan untuk pergi bekerja adalah tidak memiliki teman dalam pergaulan dan mereka merasa bahwa masyarakat akan menilai mereka sebagai keluarga yang tidak berhasil.
Apalagi bekerja keluar negeri dipermudah dengan berdirinya sejumlah agen yang menangani kepergian TKW mulai dari perijinan, dokuman dan pekerjaan di luar negeri. Juga banyaknya orang yang berminat untuk bekerja keluar negeri menyebabkan maraknya agen-agen pengirim tenaga kerja dengan janji yang menggiurkan dan pihak pemerintah setempat tidak membatasi hal ini. Bahkan melalui anggaran khusus APBD untuk TKW, pemda mendorong lajunya arus kepergian masyarakat keluar negeri dengan cara meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta untuk biaya dokumen dan persiapan ke luar negeri. Untuk menghimbau TKW yang belum berkeluarga, siswa-siswa tamatan SMA diberikan pinjaman uang, disamping memfasilitasi mereka dengan BLK (Balai Latihan Kerja) dan advokasi. Hal ini merupakan realisasi dari permohonan Bapeda Indramayu ke Bapenas dalam upaya memberikan bekal ketrampilan bagi lulusan SMA. Ketika kita mencermati aspek motivasi yang dibangun oleh faktor ekonomi, sosial-budaya dan kondisis setempat maka kita mau tidak mau harus menerima bahwa TKI yang dalam penelitian ini TKW akan terus-menerus jumlahnya.
Aspek lain lagi yang perlu mendapat dicermati sebagai aspek yang mendukung motivasi tidak melanjutkan sekolah dan cepet mendapat pekerjaan meskipun kurang layak adalah letak geografis Indramayu yang merupakan daerah lintas nasional antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal ini menyebabkan Indramayu menjadi kota kecil yang tidak pernah “tidur” sehingga mendorong maraknya hiburan malam di daerah Indramayu. Dampak banyaknya hiburan malam di Indramayu terlihat bersinergi pula dengan banyaknya para suami yang ditinggalkan istrinya migrasi keluar negeri. Banyaknya hiburan malam ini kemudian mengundang pula banyak perempuan muda, bahkan yang masih sangat belia, untuk menjadi perempuan penghibur yang dapat memperoleh uang banyak dengan jalan pintas dan instant. Dengan demikian jenjang pendidikan tidaklah menjadi sasaran para orang tua dalam membekali anak-anaknya. Gadis muda belia ini yang tidak memgenyam pendidikan yang memadai dan tidak memiliki keterampilan tentu saja pada gilirannya tidak mempunyai pilihan lain mencari uang di luar negeri. Apalagi lapangan pekerjaan tidak mudah didapat di Indramayu.
Berlandaskan dasar pemikiran diatas maka mengeliminasi permasalahan yang timbul akibat ketidakhadiran ibu perlu mendapat perhatian. Melalui metode Focussed Group Dicussion diharapkan mendapatlan Output (luaran) yang tentu saja diharapkan dapat menghasilkan sejumlah outcome. Ada enam dampak yang berkaitan dengan outcome yang kami cermati.

Masalah Penelitian


Masalah Penelitian dalam penelitian ini merupakan masalah penanggulangan permasalahan sosial kultural akibat ketidakhadiran ibu yang dilakukan pada keluarga TKW Indramayu. Bagaimana upaya dan tindakan penanggulangan yang sudah dilakukan oleh stake holder di kecamatan Indramayu dalam bentuk tindakan penanganan anak-anak, permasalahan sosial yang berkaitan dengan dunia malam, café, PSK, dan kebijakan dari Pemda yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Masalah caregivers sehingga dapat diperoleh tindakan, sistem penanganan peningkatan pendidikan anak yang dimulai dari PAUD ( Pendidikan Anak Usia Dini). Efektifitas dan efisiensi pendidkan serupa yang telah dilakukan LSM atau Pemda.
2. Peningkatan IPM dari segi pendidikan formal di antaranya agar Wajib Belajar sembilan tahun dilaksanakan dan cara efektif agar masyarakat termotivasi untuk melaksanakan program pemerintah ini.
3. Upaya para stake holder, pemangku kepentingan dan DPR tingkat II Kabupaten Indramayu agar permasalahan laki-laki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, tidak menjadi pencari nafkah dan tidak terikat komitmen perkawinan dapat dieliminir dalam bentulk penyuluhan dan pembinaan.
4. Upaya untuk membatasi tumbuhnya warung remang-remang, prostitusi dan PSK dengan tindakan atau pendekatan sosial budaya yang manusiawi dan tanpa melanggar HAM, mengingat mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks ini adalah kepala keluarga yang harus menghidupi orangtua, kakak, adik, atau anak kalau ada. Tindakan ini dapat dilakukan dengan pembinaan atau penyuluhan.
5. Eliminasi penanggulangan masalah child trafficking and AYLA (anak yang dilacurkan) dengan cara dan sistem yang terintegrasi dengan masalah pendidikan anak.


Metode Penelitian

Metode pnelitian dalam penelitian ini adalah metode Focussed Group Disscussion yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan yaitu: Bapeda, Disnakertrans, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Mantan TKW, lurah dan camat. Langkah yang dilakukan .dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Memberikan pandangan umum bagi tim peneliti dan tim peneyelenggara tentang FGD supaya dapat menyatukan langkah-langkah penelitian yang berpatokan kepada tiga kata kunci yaitu 1. diskusi – bukan wawancara atau obrolan 2. kelompok – bukan individual 3. terfokus – bukan bebas
Dengan demikian maka FGD berarti suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
b. Mengatur persiapan teknis pelaksanaan FGD dari unsur personalia
c. Menjelaskan dan mendeskripsikan tugas - fungsi masing-masing.
d. Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk FGD agar diskusi terfokus pada output yang diharapkan dan outcome yang diharapkan..

Demikianlah metode penelitian yang dilakukan dalam upaya mendapatkan hasil tentang penanganan permasalahan sosial budaya ketidakhadiran ibu dalam keluarga TKW.

Hasil dan Bahasan

Hasil penelitian dan bahasan yang diperoleh dari FGD memperlihatkan luaran sebagai berikuta;:
1. Pemda: Dampak Positif Kepergian TKW


Ada enam orang peserta FGD di antaranya kuwu desa Arahan yang mengungkapkan bahwa seharusnya bukan hanya dampak-dampak negatif yang dibicarakan peneliti tetapi juga beberapa hal yang berkaitan dengan dampak positif pun perlu dipaparkan. Bapak Kuwu desa Arahan Kidul mengatakan bahwa dari sekian puluh perempuan yang berangkat ke luar negeri hanya pernah ada satu kasus yaitu TKW tersebut jatuh dari tangga artinya mengalami luka-luka biasa. Namun kepergian TKW tadi banyak sekali positifnya. Ia mengemukan salah seorang keluarga yang berhasil memperbaiki stautsnya yaitu ibu casinam yang berangkat keluar negeri kemudian dapat meyekolahkan anaknya sampai menjadi sarjana. Namun kuwu desa Arahan pun memohon supaya pemerintah mengawasi agen-agen yang mengurus masalah TKW karena banyak pula TKW yang dibohongi, tidak dikirim bekerja di luar negeri tetapi ke pulau Batam atau ke pulau Riau.
Keterangan Kuwu desa Arahan kemudian dilanjutkan dengan camat Juntinyuat yang desanya yaitu desa Dadap menjadi fokus penelitian. Ia pun menegaskan bahwa dampak positif kepergian ini ada, bukan hanya dampak negatif seperti yang diungkapkan hasil penelitian. Pak camat ini menekankan terbantunya keluarga dari aspek ekonomi dan menegaskan bahwa kebutuhan bervariasi disamping kebutuhan ekonomi juga ada sebenarnya kebutuhan pendidikan dalam keluarga. Menurut pendapatnya hasil kerja TKW berdampak baik bagi keluarga maupun pada suami. Cuma saja, pemerintah harus ikut campur tangan dalam permasalahan TKW ini. Ia optimis kalau mata pencaharian di Indramayu mudah diperoleh, para pekerja itu enggan bekerja di luar negeri.
Kemudian Dinas Pendidikan mencermati permasalahan TKW ini dari aspek makro ekonomi Indramayu. Ia menyarankan agar diadakan penelitian mengenai kontribusi pahlawan devisa ini yang konon mencapai 10 milyar sebulan sehingga setahun menjadi 180 milyar. Kalau memang demikian maka berarti pendapat tersebut berjumlah setengah APBD. Ia sebenarnya menginginkan ada lembaga penelitian yang dapat mengungkapkan berapa jumlah yang pasti karena jumlah yang disebutkan di atas hanyalah menjadi berita burung yang belum pasti. Keterangan dari salah seorang anggota DPRD II menjelaskan bahwa dari pendapatan pahlawan devisa ini ada pendapatan non pajak sebesar 150 dolar per TKW.
Permasalahan dampak positif TKW ini juga ditanggapi selain oleh Bapak Suparto anggota DPRD II juga oleh Camat Kroya dan Kandang Haur yang merupakan desa nelayan. Selain ditinggalkan oleh ibu anak-anak juga dtinggalkan bapak karena kepala rumah tangga harus bekerja sebagai nelayan. Ia mengatakan bahwa di dalam kehidupan di desa-desa pedalaman, keadaan tanpa bapak itu hanya terjadi di pagi hari saat ayah bekerja tetapi kalau malam mereka berkumpul.
Kesimpulan yang dapat kami tarik terkait dengan diskusi, camat dan lurah sebagai wakil dari pihak pemerintah tidak ragu-ragu mengirim TKW ke luar negeri. Mereka menggunakan jalan keluar ini sebagai jalan pintas karena pemerintah tidak mengadakan persiapan seperti masalah ketrampilan, perlindungan, undang-undang atau Perda dahulu. Awal diskusi ini dapat meyakinkan kami bahwa dalam beberapa tahun mendatang pengiriman akan terus berlangsung bahkan barangkali meningkat namun penanganan belum terwujud secara signifikan.

2 Penanggulangan Masalah Caregivers (Orang yang Mengasuh dan Merawat Anak)


Salah satu masalah yang diungkapkan pada hasil penelitian terdahulu adalah kurang memadainya pendidikan caregivers, yaitu orang yang mengasuh dan merawat anak sedangkan pendidikan anak yang ditinggal oleh ibunya akan sangat tergantung kepada pendidikan mereka. Seorang caregiver adalah seseorang yang mengasuh anak yang ditinggalkan ibunya. Caregivers ini mungkin berasal dari kerabat anak tersebut seperti nenek, bibi atau kakak. Orang yang menggantikan tugas ibu di rumah ini, menurut hasil yang diperoleh pada penelitian terdahulu, mengurus anak-anak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Hal-hal yang berkaitan dengan fisik seperti pakaian, makanan dan minuman dapat dikatakan dijamin oleh caregivers tersebut. Sementara pendidikan, baik formal, moral maupun spiritual tidak dapat dikatakan memadai karena caregivers sendiri tidak mengenyam pendidikan formal yang memadai. Permasalahan pendidikan moral dan spiritual hampir dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya setempat karena pendidikan moral dan spirtual ini erat kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat.
Dinas Pendidikan menginginkan adanya komitmen dengan Bapak Bupati dalam hal peningkatan IPM. Berkaitan dengan ini, Kecamatan Indramayu pada tahun 2006 mendapat penghargaan, Satya Lencana dari presiden. Tepatnya ketika tahun 2004, IPMnya meningkat menjadi 64.25 sedangkan pada tahun-tahun sebelum itu IPM. di bawah 60. Perwakilan dari Dinas Pendidikan mengakui bahwa permasalahan pendidikan yang berkaitan TKW masih dirasakan berat. Ia berpendapat bahwa masalah ketidakhadiran ibu tidak begitu berpengaruh secara signifikan kepada anak-anak. Pendidikan ibu yang terbatas juga menyebabkan masalah karena keterbatasan pendidikan ibu juga menyebabkan keterbatasan pendidikan anak Mungin saja ditinggal oleh ibunya yang kurang berpendidikan akan menhasilkan anak yang pendidikannya lebih baik karena ditangani oleh pengganti ibu yang lebih baik, lebih berkualitas dan mengerti tentang pendidikan. Diknas berpendapat bahwa mengata permasalahan cergivers ini harus dengan cara pangkas generasi. Artinya generasi berikutnya harus memiliki ibu yang tingkat pendidikannya lebih meningkat sehingga akan lahir ibu-ibu yang mengerti tentang masa depan anak-anaknya”. Bapak dari Dinas pendidkan ini optimis bahwa ibu-ibu ataupun caregivers dari generasi berikutnya akan lebih baik mengingat bahwa IPM generasi sekarang sudah meningkat.
Terungkap ketika FGD bahwa yang menjadi penghalang sebenarnya adalah kebudayaan setempat yang tidak menekankan pentingnya pendidikan sehingga meskipun pak bupati, pemerintah mengebu-gebu, bapak kapolsek juga sampai terjun memaksa agar warga masuk sekolah tetap kurang berhasil. Pendidikan tidak dianggap sebagai kebutuhan primer sehingga bagaimana memprimerkan pendidikan menjadi tugas semua. Kebutuhan yang tercermin dari kebudayaan Indramayu adalah kebutuhan sandang, pangan dan papan dalam ukuran skla menengah – atas. Mengubah konsep berpikir memang tidak mudah tetapi kita melihat sudah ada niat baik dan kesadaran dari pemerintah untuk bahu-membahu mengubah konsep berpikir ini.
Apa yang dikatakan di paragraf di muka memang benar karena kebanyakan caregivers tidak mengenyam pendidikan formal. Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan pendidikan formal asalkan mereka termotivasi untuk meningkatkan pendidikan ini dan mereka menyadari bahwa pendidikan mereka sangat erat berkaitan dengan pendidikan generasi berikutnya. Dari diskusi diperoleh hasil upaya mengadakan kejar paket mungkin dapat pula menjadi salah satu solusi. Program ini mungkin dapat dilaksanakan dengan bekerja sama dengan LSM. Namun apabila dilihat dari upaya Diknas tampak bahwa mereka tidak antusias untuk memperbaiki mutu caregivers yang sekarang. Permasalahan yang tak kalah penting yaitu masalah moral yang berkaitan dengan pentingnya menanamkan pola-pikir (mind set) yang berbeda dengan yang telah ada sekarang. Pemerintah tidak memulai dari generasi yang sekarang telah menjadi pengasuh tetapi perubahan pola pikir ditujukan kepada generasi berikut.
Upaya lain untuk meningkatkan mutu caregivers adalah melalui BKB Kemas yang menggabungkan antara pendidikan para pengasuh dan pendidikan anak. Lembaga ini mulai memikirkan untuk mengubah cara berpikir masyarakat. BKB Kemas memberikan pembinaan kepada keluarga balita yang ditinjau dari segi kesejahteraan keluarga secara terintegrasi yaitu bagaimana membuat suasana keluarga yang anggotanya baik, yaitu anak dan suami yang terlindungi dalam kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan sehingga kesejahteraan mereka meningkat. Untuk kepentingan tersebut di beberapa diadakan BKB Kemas bagi seluruh keluarga tanpa memandang apakah mereka keluarga TKW atau bukan. Bina Keluarga Balita adalah pembinaan balita melalui orang tua atau keluarga balita, ayah, nenek, kakek dsb.
Bina Keluarga Balita Kesiapan masuk sekolah yang setara dengan TK dan RA sebenarnya bukanlah sekolah tetapi merupakan tempat bermain yang terprogram atau dapat dikatakan bermain sambil belajar. Jumlah BKB Kemas ini sampai saat ini jumlahnya 231 kelompok. Sehingga pendidikan anak usia dini di Indramayu bervariatif mulai dari BKB Kemas, Kelompok Bermain, TK, RA dan jumlahnya mencapai 662 kelompok dengan peserta didik 43.700. Jumlah ini sebenarnya merupakan jumlah yang cukup menggembirakan namun kelengkapan untuk melaksanakan pendidikan tidak memadai.
Barangkali untuk masalah BKB Kemas untuk Indramayu ini perlu mendapat perhatian khusus. Ada dua masalah yang perlu dipikirkan yaitu masalah program dan masalah finansial. Program pendidikan BKB Kemas untuk Indramayu perlu mendapat perluasan terutama bagi desa-desa yang banyak sekali mengirim TKW. Melalui BKB Kemas Terpadu, para caregivers dan anak-anak mendapat penanganan khusus dan lebih kepada arah bagaimana ketridakhadiran ibu dapat ditanggulangi. Dari sudut caregivers dapat dilaksanakan program pendidikan mulai dari belajar membaca untuk yang buta huruf sampai kepada program bermanfaat lainnya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan mereka. seperti memotivasi anak belajar, membuatkan jadwal bagi anak, memperhatikan gizi anak yang diasuhnya. Dari sudut finansial, alokasi dana dari pajak yang diperoleh TKW dapat ditinjau ulang. Selain itu mengatur pembuatan perda yang menekankan keharusan perusahaan atau agen pengiriman TKW menyisihkan pendapatannya untuk digunakan dalam keberlangsungan program ini.
3. Pendidikan Anak Usia Dini

Pentingnya pendidikan usia dini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tumbuh kembang anak usia dini dimulai pada tahun pertama otak bayi tumbuh dan berkembang begitu pesat. Kepesatan perkembangan itu karena otak bayi menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antara sel otak yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan ini akan semakin kuat apabila sering digunakan. Sebaliknya akan semakin melemah dan akhirnya mai apabila jarang disentuh perkembangan otaknya 20 -30% lebih kecil dari ukuran normal anak seusianya ( Depdiknas 2002). Otak tersebut akan berkembang apabila :

a. Terpenuhi asupan gizinya (makanan dan ASI)
b. Memperoleh rangsangan dengan berbagai cara, diantaranya dengan bermain dan belajar. Diraba, dielus, bernyanyi, cilukba, bermain di alam dan sebagainya merupakan contoh bentuk bermain untuk merangsang otak anak.

Masa anak usia 0 -6 tahun disebut sebagai masa kemasan atau Golden Age. Masa rentangan usia dini ini merupakan masa emas ketika perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosional, bahasa dan sosial berlangsung dengan sangat cepat. Hasil penelitian menunjukan bahwa perkembangan otak anak usia 0 – 4 tahun sudah mencapai 50%, sampai dengan usia 8 tahun 80%, sampai dengan usia 18 tahun 100%.
Singkatnya, PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan yang bersifat mendidk. Rangsangan dimaksud adalah untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani - rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik ( koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya fikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual),sosio emosional (sikap dan perilaku dan agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan, dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ketika program PAUD dikaitakan dengan masalah ketidakhadiran ibu, program ini perlu ditingkatkan untuk mengurangi dampak ketidakhadiran ibu dalam keluarga TKW yang berkaitan dengan pendidikan anak. Mengingat kebanyakan ibu-ibu yang menjadi TKW adalah ibu-ibu muda, tentunya masa golden age anak ini perlu di manfaatkan.

4. Lembaga Konsultasi dan Pendampingan Calon TKW

Salah seorang pengurus LSM dari Kedokan Bunder mengatakan bahwa para perempuan yang akan berangkat bekerja keluar negeri perlu berkonsultasi dulu kepada suatu lembaga yang dapat memaparkan dampak kepergian mereka. Ada tiga hal yang ditunjukkannya yaitu pertama, permasalahan suami, banyak di antara para suami yang datamg ke warung remang-remang di Kedokan Bunder minum-minum dan berpesta pora dan sudah dapat dipastikan uangnya adalah kiriman istri yang bekerja di luar negeri. Permasalahan kedua memberikan jasa konseling untuk perencanaan keuangan sehingga para TKW kembali terjerat kemiskinan sehingga perlu kembali lagi bekerja ke luar negeri. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah alokasi dana untuk pendidikan anak sehingga permasalahan TKW tidak berlangsung dari generasi ke generasi. Keadaan nyata sekarang berkaitan dengan permasalahan uang penghasilan yang dibawa dari luar negeri. Uang pada umumnya dipakai untuk membangun rumah, menyelenggarakan pesta, bukan untuk kepentingan pendidikan. Permasalahan yang ketiga adalah masalah yang berkaitan dengan anak. Mulai dari siapa yang akan merawat, biaya perwatan, biaya pendidikan dan permasalahan lain. Lembaga pembinaan dan pendampingan yang dimaksud tersebut menjelaskan dengan gamblang resiko yang akan terjadi apabila yang bersangkutan memutuskan untuk berangkat bekerja ke luar negeri. Dampak negatif tidakhadirnya yang bersangkutan dan bagaimana penangannya termasuk rencana pengalokasian dana di masa mendatang sehingga segalanya terencana dan apabila memungkinkan satu kali pergi mereka dapat uang untuk membangun keluarga yang mandiri dan mempunyai dana cukup untuk menyekolahkan anak sehingga kondisi tidakhadirnya ibu dalam keluarga dapat dipersingkat karena dalam kurun waktu dua tahun atau dua kali periode kontrak kebutuhan keluarga telah terpenuhi.
Seorang perwakilan dari DPRD II menambahkan bahwa sebenarnya yang perlu pembinaan bukan hanya TKW saja tetapi juga keluarga yang ditinggal sehingga prioritas menjadi jelas. Kesimpulannya fungsi lembaga konseling cukup signifikan untuk membantu memberikan pengarahan kepada calon TKW yang akan berangkat dan keluarganya dengan cara mengemukakan pengalaman orang lain sehingga baik buruk menjadi TKW di luar negeri menjadi komitmen bersama dengan harapan dampak negatif dapat diminimalisir. Permasalahan pergi bekerja keluar negeri tampak sekarang tanpa bantuan lembaga konseling hanyalah permasalahan yang diputuskan secara sepihak yaitu dari pihak istri saja karena para suami yang ditinggalkan dari hasil diskusi bersama memperlihatkan kesulitan mengatur rumah tangga ketika istri mereka pergi.

5. Lembaga Perlindungan Anak


Selama hampir tigabelas tahun negara telah berusaha menyusun Undang-undang Perlindungan Anak karena telah meratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui Keppres no 1990. Pada tahun 2002 diundangkan pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak. Undang-undang tersebut dibuat berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak (KHA) yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik sang anak, hak untuk hidup, betahan dan berkembang serta yang terakhir adalah hak untuk berpartisipasi. Hasil FGD memperlihatkan bahwa Undang-undang perlindungan Anak belum dilaksanakan karena pada diskusi tersebut terungkap bahwa belum ada sangsi bahkan Lembaga Perlindungan Anak di Indramayu belum terlihat perannya.

6. Wajib Belajar Sembilan Tahun: Perlu Perubahan Paradigma Masyarakat

Menurut informasi dari Dinas Kependidikan kabupaten Indramayu, untuk program wajib belajar sembilan tahun, mereka meraih juara pertama di Cluster B Jawa Barat selama dua tahun berturut-turut dan sekarang sedang menggalakkan Wajar 12 tahun. Namun mereka menghadapi kesulitan tadi karena masyarakat dan budaya masyarakat. Dukungan msayarakat tentu sangat dibutuhkan karena betapa besar upaya yang dilakukan pemerintah suatu ketika tidak akan berhasil apabila masyarakat terus-menerus mengikis perjuangan Diknas.
Dinas Pendidikan kabupaten Indramayu ini melalui diskusi terpusat ini berniat mengubah paradigma masyarakat melalui jalur struktur pendidikan formal. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam bentuk program pembinaan sementara ini terdiri dari dua jenis program. Yang pertama adalah menyiarkan pelajaran-pelajaran khususnya bagi ibu-ibu melalui radio-radio lokal. Meskipun program ini belum menunjukkan hasil yang cukup signifikan Diknas sudah dimulainya perhatian masyarakat kepada pendidikan meskipun perubahan ini masih kecil. Yang kedua adalah program paket yang umumnya juga diselenggarakan di setiap kota atau kabupaten. Dinas Pendidikan khususnya Subdin Pendidikan Masyarakat menangani masalah kejar-paket yang dikelola oleh satu wadah yaitu PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar masyarakat) yang menampung kegiatan pendidikan yang bernuansa kemasyarakatan. Di sana ada play group atau kelompok bermain, ada TK, paket A setara SD, paket B setara SMP, paket C setara SMA dan ketrampilan-ketrampilan.
Bagi para para siswa SMP ada satu terobosan dari bapak bupati. Untuk Wajar 9 tahun, dulu masih ada BSP tahunan. Iuran tahunan begitu yang langsung harus dibayar ketika masuk sekolah. Mulai tahun sekarang sudah dibayari oleh pemerintah daerah jadi uang iuran sekolah dibayari oleh Pemda sebagian dan sebagian lagi oleh Biaya Operasional Sekolah. Sedangkan untuk siswa SMA, kemampuan daerah belum memungkinkan tetapi ada prioritas untuk anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Itupun baru diprediksi kira-kira 20% dari keluarga yang tidak mampu. Jadi paling tidak bantuan tersebut dapat menolong untuk keluarga tidak mampu.
Kemudian ada lagi program bantun non santunan uang sekolah tetapi dengan memberikan bimbingan kepada siswa yang lulus SMA. Pemerintah mempunyai program bimbingan belajar untuk masuk ke perguruan tinggi favorit, yang terutama ITB. Sekarang sudah kerja sama dengan ITB dan Unpad. Setiap tahun kelas tiga ini diberikan bimbingan dan sekarang sudah banyak yang masuk ITB. Juga diungkapkan dalam diskusi bahwa seorang anak tukang becak dan anak nelayan dari Krangkeng itu sudah bekerja di Pertamina dan juga sudah kembali dikirim belajar dari Amerika.
Apabila di muka telah dijelaskan bahwa Diknas mengubah paradigma masyarakat tentang pendidikan melalui jalur struktur pendidikan formal melalui diskusi ini disetujui pula apabila menembuh jalur informal dalam bentuk menanamkan nilai-nilai yang berakaitan tadi. Bentuknya dapat berupa program-program yang disisipkan melalui pengajian atau dakwah-dakwah, semacam muatan-muatan yang secara tidak langsung dan sedikit demi sedikit memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan. Pendidikan dan juga keterampilan yang memadai dapat meningkatkan kualitas manusia tersebut sehingga dengan demikian masyarakat tidak mudah tergoda oleh hal-hal yang mudah dilakukan seperti misalnya menjual kehormatan.

7. Perhimpunan atau Paguyuban Para Suami TKW

Mencermati permasalahan yang dihadapi para suami TKW yang juga hadir di FGD ini, tampak adanya kesulitan dalam mengatur rumah tangga ketika mereka harus bekerja mencari nafkah. Juga diungkapkan masalah lain yaitu kesulitan menanggung rasa sepi. Salah seorang camat mengungkapkan bahwa pentingnya dibentuk suatu wadah untuk menampung kegiatan para suami. Namun warga yang tinggal disekitar Rukun yang dimaksud kadang-kadang juga memperhatikan warga yang ibu atau istrinya sedang bekerja di luar negeri. Tetapi berbicara mengenai wadah khusus dengan kepentingan mengelola rumah tangga tanpa istri, mengurus atau membina bapak-bapak yang ditinggal pergi, dapat dikatakan belum ada wadahnya. Informasi dari seorang perwakilan Trantib mengatakan bahwa di beberapa daerah, perkumpulan macam ini ada yaitu PSDI- Perkumpulan Suami Ditinggal Istri.
Perhimpunan ini tentu dibutuhkan karena anggotanya adalah sesama pria yang ditinggalkan istri sehingga memiliki tau mengalami permasalahan yang sama. Permasalahan ini kemungkinan dapat dipecahkan bersama-sama karena di antara anggota tentu pernah mengalami hal yang mirip. Tujuan dari perhimpunan ini selain untuk tempat untuk berdiskusi bersama juga merupakan wadah untuk saling berbagi pengalaman sehingga solusi yang didapatkan untuk mencari permasalahan bukanlah bersifat teoritis tetapi berdasarkan pengalaman yang telah pernah diterapkan. Program kegiatan dapat disusun bersama dengan tujuan bersama-sama membangun rumah tangga yang harmonis meskipun tanpa istri.
Pemda sendiri membantu dengan cara memberikan pekerjaan sederhana untuk para suami ini yaitu dibelikan cicilan sepeda motor agar dapat mendapatkan uang dari hasil ojeg untuk biaya hidup sehari-hari. Setiap ada pengiriman uang jumlah uang yang dipakai untuk kredit motor tersebut dibayarkan sebagai cicilan. Selain pengojeg juga diberi keterampilan buka usaha tambal ban dan memberikan alat-alatnya. Dan untuk kuli bangunan dibelikan alat-alatnya. Semua alat-alat tersebut diperoleh dari dana bergulir CTKI yang pada tahun 2002 besarnya 285 juta dan sudah dimanfaatkan oleh banyak orang. Pengembalian bukan hanya dalam bentuk uang tetapi juga bentuk barang. Kemudian seandainya ada yang dapat bertani artinya mereka mempunyai sawah lalu Pemda menyewakan traktornya.
Dalam upaya Pemda untuk membantu para suami ini, perhimpunan ini juga dapat menajdi jembatan antara anggota yang dibantu Pemda dan administrasi Pemda. Bahkan apabila terjadi hambatan mereka dapat secara gotong royong mencari solusi yang tepat. Keuangan dan adiministrasi hasil yang diterapkan di paragraf sebelum ini dapat pula dilaksanakan oleh perhimpunan. Tidak terlepas juga kemungkinan payuban ini menjadi salah satu pilar menopang yang dapat berfungsi unutk mengawasi program sejenis misalnya dalam memonitor dan mengevaluasi program tanggung jawab sosial perusahaan.

8. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

Seorang peserta mengungkapkan permasalahan tanggung jawab sosial perusahaan yang dalam hal ini adalah PJTKI. Ia menjelaskan pengalaman yang diperolehnya yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan ini. Ia memaparkan permasalahan di Malaysia dengan Singapura yaitu Konjen RI di sana yaitu Konsorsium Perusahaan Pengusaha di Malaysia yang berhasil dapat membiayai kegiatan. Sebagai implemenatsinya dapat dibuat sebuah model di suatu kecamatan yang dapat menjadi desa binaan. UNICEF telah membiayai di tujuh kecamatan. Pogram BKB Kemas ini adalah program pendidikan anak usia dini dengan menggunakan sistem dari Unicef sedangkan program pemerintah adalah BKB. Ditambahi Kemas oleh Unicef agar jelas programnya yaitu Kesiapan masuk sekolah. Dipicu dan diinisiasi oleh UNICEF sekarang program ini menjamur di mana-mana meskipun dengan bangunan yang seadanya saja.
Mengingat bahwa perusahaan yang berhubungan dengan pengiriman TKW erat dengan permasalahan ketidakhadiran ibu dalam kelaurga TKW maka tentu saja lembaga yang akan memberdayakan program CSR perlu berhubungan langsung PJTKI sehingga pemerintah tidak terlalu terbebani oleh program-program untuk menanggulangi dampak ketidakhadiran yang dimaksud. Seorang perwakilan dari DPR mengusulkan pula agar memberikan rekomendasi kepada depnaker, kepada menteri tenaga kerja agar pendapatan non pajak dilimpahkan ke daerah. Artinya PJTKA dapat dibebaskan dari pajak pendapatan asalkan mereka bersedia untuk mengalihkan dana untuk pajak ini kepada program CSR tadi.

9. Anak Yang Dilacurkan (AYLA)

Kaitan antara permasalahan eksploitasi anak yang mewarnai kehidupan para remaja di Indramayu dengan permasalahan akibat ketidakhadiran ibu belum dapat dipastikan. Mengingat penelitian ini mendapatkan bahwa AYLA menjadi permasalahan Pemda atau Dinas Sosial Pemda maka sub bab ini memuat pula permasalahan anak yang dilacurkan.
Dampak yang timbul dengan adanya kegiatan dan permasalahan anak yang dilacurkan secara langsung berpengaruh kepada IPM karena kegiatan ini membuka peluang atau alternatif untuk anak tidak menyelesaikan sekolah formal. Mereka mudah mendapatkan pekerjaan lain yang tanpa keterampilan namun menghasilkan uang. Keberadaan anak-anak yang dilacurkan di Indonesia sudah disadari oleh berbagai pihak. Irwanto, dkk (1999) mengungkapkan bahwa di sebuah pusat rehabilitasi perempuan di Jakarta Utara, sedikitnya 5 persen dari 2.750 pekerja seks berusia kurang dari 15 tahun. Menurut catatan redaksi Surabaya Post tanggal 5 April 2000 (Suyanto dan Hariadi, 2002:55) jumlah anak perempuan yang dilacurkan telah mencapai 40-70 ribu orang. Mohammad Fdarid (2000) memprediksi sekitar 30 persen dari jumlah pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak di bawah umur 18 tahun. Kalau melihat data di Kepolisian Republik Indonesia maka pada tahun 2000 jumlah kasus perdagangan anak yang dilaporkan lebih dari 1.400 kasus, belum lagi yang tidak dilaporkan atau tidak diketahui. Setiap kasus dapat melibatkan dua hingga sepuluh korban perempuan dan sebagian besar adalah anak-anak( Kompas, 9 Oktober 2001 ).
Istilah anak yang dilacurkan atau Ayla merujuk pada subyek yakni anak-anak, baik anak laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Mereka sengaja dipilih untuk memberikan tekanan pada bobot yuridis di mana seorang anak, yang tentunya berbeda dengan orang dewasa, harus dianggap tidak punya kemampuan untuk memilih prostitusi sebagai profesi. UNICEF (Document A/50/456) mendefinisikan pelacuran anak atu child prostitusion sebagai berikut : “ The act of engaging or offering the services of a child to perform sexual acts for money or other consideration with a person or any other persons.” ( Perbuatan menggunakan atau menawarkan jasa anak untuk melakukan kegiatan seksual demi uang atau pertimbangan lain dengan seseorang atau beberapa orang).
Pada tahun 1996, Kongres Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak-anak di Stockholm menyatakan, pelacuran adalah sebuah bentuk kejahatan yang paling kejam pada anak-anak. Kongres ini membatasi eksploitasi seksual komersial pada anak-anak sebagai : “The use of a child for sexual Purposes in exchange for cash or in-kind favours the child her or himself, the customer, intermediary or agent, and others who profit from the trade in children for these purposes.”(Penggunaan anak untuk aktivitas seksual melalui pertukaran uang atau bentuk lainnya, bagi anak itu sendiri, pelanggan, agen, dan lain-lain, yang mendapatkan keuntungan dari pertukaran ini). Protokol Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak diadopsi oleh dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 25 Mei 2000 menerangkan, “Prostitusi anak berarti menggunakan seorang anak untuk aktivitas seksual demi keuntungan atau dalam bentuk lain.”
Kabupaten Indramayu dikenal sebagai “ Pemasok” pekerja seksual komersial, termasuk anak-anak yang dilacurkan. Dari beberapa penelitian sebelumnya serta dari berbagai informasi yang disebarluaskan melalui media massa, apabila mengetengahkan kasus-kasus pelacuran di kota-kota besar di Indonesia bahkan di mancanegara terutama yang berkaitan dengan daerah asal para pekerja seks komersial, banyak yang mengkaitkannya dengan daerah Kabupaten Indramayu. Disamping itu, pada beberapa tempat di Indaramayu kegiatan pelacuran sudah menjadi pemandangan sehari-hari, baik yang dijajakan melalui warung remang-remang maupun di pinggir jalan raya, terutama sepanjang jalur Pantai Utara (Pantura). Bahkan pada beberapa masyarakat tertentu sudah dianggap sebagai suatu profesi yang sama kedudukannya dengan profesi pekerjaan lainnya, sehingga mereka tidak ragu untuk mengatakan bahwa pekerjaannya adalah pelacur. Mereka menganggap pelacuran adalah pekerjaan biasa, sama dengan pelayan toko, pekerja salon, atau buruh pabrik. Akibatnya, orang sering mengatakan bahwa Indramayu seolah-olah identik dengan pelacuran.
FGD yang diselenggarakan juga memberikan masukkan tentang AYLA. Mereka mengemukakan justifikasi berdasarkan dua hal yaitu: yang pertama berkaitan dengan pencapaian setiap insan yang tak pernah puas dan yang kedua berhubungan dengan tidaktersedianya lapangan pekerjaan. Peserta FGD mengatakan bahwa meskipun telah dilakukan pembinaan oleh FKPP, PKK dan juga LSM bagi anak-anak perempuan yang rentan, keinginan mereka untuk dapat membeli rumah kemudian mobil dan kehidupan konsumtif menyebabkan pembinaan tidak berhasil. Jadi setelah mereka DO dari sekolah, dengan diam-diam mereka berangkat ke Jakarta. Hal ini tentu saja tidak dapat terlepas dari ketersediaan agen pemasok yang jeli membidik sasaran pemasaran. Jadi mereka memang sudah diikuti oleh para agen sehingga mereka pun tak usah berpayah-payah mencari jejaring untuk mendapatkan pekerjaan lain.
Pembinaan yang telah dilakukan baik oleh pemda maupun oleh sejumlah LSM tidaklah memperlihatkan perubahan perilaku yang signifikan. Di beberapa desa di kabupaten Indramayu ada sejumlah lembaga keterampilan yang meyelenggarakan pelatihan bagi anak-anak 18 tahun ke atas. Perkumpulanm ini dinamakan Mitra Citra Remaja. Pendidikan keterampilan ini terus dilaksanakan sampai mereka memperoleh pekerjaan. Salah satu keberhasilan program ini terlihat dari adanya kegiatan yang terintegrasi ketika salah seorang dari peserta didik sudah mampu mandiri. Sebagai contoh ada siswa sekolah menjahit yang akhirnya mahir menjahit dan menerima pesanan seragam dari kepala desa. Dengan demikian kegiatan ini juga memberikan pendapatan bagi desa yang bersangkutan.

10. Seniman Pantura

Sebelum mengakhiri FGD, diskusi berkembang membicarakan permasalahan lain yang juga diwarnai oleh pekerjaan yang dianggap membahayakan keselamatan dan membuka peluang untuk anak-anak perempuan atau remaja perempuan melakukan pekerjaan sebelum menamatkan SMA. Pekerjaan yang dimaksud adalah beberapa anak atau kelompok anak-anak perempuan yang naik meloncat ke dalam bis yang sedang mengadakan perjalanan ke arah Pantura. Seorang dari kelompok tersebut menjadi penyanyi, sisanya membawa alat karaoke.Mereka masuk ke dalam bis dan mengamen atau berkaraoke di dalam bis yang kemudian diberikan upah oleh penumpang bis. Mereka mencari nafkah seperti ini dari satu bis ke bis lain. Mengingat bahwa bis sudah mulai lewat jam 6 pagi maka seniman pantura ini pun sudah mulai beroperasi dari jam 6 pagi. Mereka yang ada dalam bis kemudian turun di suatu tempat yang sudah mereka atur berdasarkan kesepakatan. Jadi masing-masing kelompok mempunyai wilayah operasi. Memperhatikan pekerjaan ini sangat rentan terhadap keselamatan maka Pemda yaitu Dinas Sosial berupaya untuk mengeliminasi jumlah seniman pantura ini. Pekerjaan ini dibantu oleh para organisasi perempuan dan pemberdayaan perempuan. Mereka mendapatkan bahwa seniman model ini berkembang sangat pesat.
Dinas Sosial atau instansi lain yang merasa berkepentingan untuk membina mereka memberikan pembinaan tentang cara berpakaian yang rapi dan sopan serta konsep diri termasuk menjaga kehormatan sehingga mereka harus mau menghindar dari tangan-tangan jahil.
Pada kesempatan ini para pembina yang ketika FGD diwakili oleh Bapeda dan Dinsos mengatakan bahwa mereka tidak dapat melarang seniman pantura ini karena kurangnya lapangan pekerjaan. Apakah hal tersebut dapat dikatakan benar sulit mereka menjawabnya karena dalam kenyataannya meskipun ada lapangan pekerjaan lain belum tentu mereka mau menekuni pekerjaan lain. Hal ini terbukti ketika kelompok yang dibina ini ditanya apakah mereka mempunyai keinganan untuk berhenti mereka menjawab bahwa mereka menyukai pekerjaan ini dan tidak ingin mencari pekerjaan lain. Dengan demikian maka dapat kami simpulkan bahwa masyarakat Indramayu pada umumnya sudah terkondisi untuk melakukan atau mengerjakan pekerjaan yang berkaitan dengan hiburan dalam arti luas. Masyarakat ini seolah-olah sudah memiliki bakat alamiah sehingga perusahan atau lembaga yang berkecimpung dalam dunia hiburan membidik wilayah ini agar mendapatkan tenaga kerja dari Indramayu.
Apalagi ternyata seniman pantura ini bukan hanya dapat mencari uang di bis-bis, mereka pun seringkali juga disewa oleh orang-orang yang mengadakan pesta. Penyanyi yang suaranya bagus kemudian dibayar untuk mengisi acara pada pesta-pesta. Di sini kita melihat bahwa sebenarnya kebiasaan dan budaya masyarakat juga menunjang keberlangsungan kehidupan seniman pantura.

11. Tindakan Hukum Yang Dilakukan Pemda Kabupaten Indramayu

Di muka telah dipaparkan sejumlah kegiatan yang telah dilakukan Pemda Kabupaten Indramayu dalam upaya menanggulangi dampak ketidakhadiran ibu dalam keluarga TKW, meminimalisasi pekerja-pekerja komersial perempuan di bidang hiburan serta Anak Yang Dilacurkan. Semua upaya itu tentu saja diselenggarakan dengan memperhatikan Undang-undang RI tentang Hak Anak. Memperhatikan bahwa telah diberlakukannya hak anak, Pemda juga menyusun Peraturan Daerah yang berkaitan dengan permasalahan yang menyangkut anak karena banyak kegiatan yang perlu ditanggulangi Pemda berhubungan dengan anak-anak. Perda-perda yang dimaksud diantaranya adalah Lembaran Daerah Kabupaten Indramayu No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Pelarangan Trafiking untuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Kabupaten Indramayu.

Kesimpulan

Sesuai dengan yang diharapkan, FGD ini dapat menjawab permasalahan yang diperoleh pada penelitian terdahulu yaitu menanggulangi permasalahan akibat ketidakhadiran ibu dalam keluarga TKW. Penanggulangan yang didapat dari penelitian ini adalah bentuk tindakan penanganan pendidikan anak baik dari pihak caregivers, swadaya masyarakat maupun Pemda, penanganan permasalahan sosial yang berkaitan dengan suami yang ditinggalkan juga mengenai dunia malam, café, PSK, dan perda dan kebijakan Pemda. Kesebelas sub yang menjadi hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dampak positif program TKW lebih besar adripada dampak negatif. Pemda memandang persoalan TKW sebagai permasalahan sederhana karena Pemda mendasari pemikirannya pada hasil positif yang langsung dapat dirasakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
2. Dinas Pendidikan mengakui bahwa permasalahan pendidikan yang berkaitan TKW masih dirasakan berat. Peran caregivers penting bahkan dapat meningkatkan mutu anak-anak yang ditinggalkan lebih signifikan daripada anak-anak yang diasuh ibunya sendiri. Dinas pendidikan menganggap bahwa permasalahan caregivers ini membutuhkan waktu yang berkaitan dengan masalah generasi. Untuk generasi TKW yang berangkat tahun 2007, permasalahan caregivers belum dapat ditanggulangi. Namun semenatra ini BKB Kemas diharapkan dapat mengurangi akibat tersebut.
3. Permasalahan pendidikan anak usia dini (PAUD) secara umum sudah ditangani oleh lembaga swadaya masyarakat. Wadah ini dapat difungsikan untuk mengeliminir dampak negatif yang berkaitan dengan sosial budaya yang dipandang dari sudut pendidikan anak yang ditinggalkan ibunya. Khusus di wilayah yang dimaksud, program PAUD harus ditingkatkan serta konsep PAUD diperluas dengan cara meningkatkan jumlah dan lama kegiatan.
4. Pembentukan lembaga konseling dan pendampingan Keluarga TKW perlu dibentuk agar permasalahan yang biasa muncul ketika ibu pergi bekerja dapat didiskusikan. Lembaga konseling ini diharapkan dapat menciptakan suatu sistem menyeluruh dan terintegrasi yang dapat dilaksanakan termasuk pendidikan anak, penyandang dana dan pengaturan, pembenahan serta penyuluhan kepada suami..
5. Didirikannya Lembaga Perlidungan Anak di Indonesia dapat melegitimasi tindakan-tindakan yang berkaitan dengan pelanggaran Undang-undang Perlindungan Anak. Lembaga ini sudah harus mulai memberikan sangsi bagi pelanggaran terhadap hak anak. Setelah melampaui kurun waktu tigabelas tahun untuk menyusun Undang-undang hak anak ini, pemerintah sudah saatnya menegakkan hukum berdasarkan Undang-undang ini.
6. Pemerintah Indramayu berhasil dalam meningkatkan jumlah murid yang mematuhi wajib belajar sembilan tahun. Beberapa program bantuan non santunan uang sekolah dalam bentuk bimbingan belajar kepada siswa yang lulus SMA perlu terus secara reguler dilakukan karena memperlihatkan hasil yang cukup signifikan.
7. Pehimpunan atau paguyuban Para Suami TKW dapat merupakan wadah khusus yang secara bersama-sama dapat melakukan kegiatan positif dalam hal melaksanakan kehidupan yang tidak normal yaitu istri tidak ada di rumah.
8. Program tanggung jawab sosial perusahaan perlu diperdakan mengingat bahwa perusahaan yang menjadi agen atau bisnisnya berhubungan dengan permasalahan TKW harus berpartisipasi paling sedikit dengan cara menyisihkan dananya untuk mengurangi dampak negatif.
9. Permasalahan Anak Yang dilacurkan (AYLA) berkaitan dengan Undang-undang perlindungan anak yang dimuat di dalam Bab V. Kabupaten Indramayu menjadi merek dagang bagi para PSK dan memiliki pangsa pasar yang luas karena pekerja seks yang berasal dari Indramayu memiliki bakat alamiah. Dengan demikian maka Undang-undang RI tentang perlindungan Anak jangan hanya dibuat sebagai pelengkap atau hiasan saja tetapi perlu diberi kekuatan hukum sehingga AYLA dapat dieliminir.
10. Permasalahan sosial yang baru muncul satu tahun terakhir ini dan dicermati semakin marak adalah seniman Pantura. Pemerintah harus segera mengambil sikap dalam menangani masalah ini karena cara seniman ini bekerja membahayakan nyawa.
Demikianlah kesimpulan yang dapat dirumuskan dalam penelitian tahun kedua yang berjudul: Penanggulangan Permasalahan Sosial Kultural Akibat Ketidakhaditran Ibu Dalam Keluarga TKW. Kesimpulan ini selain diperoleh dari bahasan juga dari hasil Focussed Group Discussion yang dihadiri oleh sejumlah stake holder yang daftar hadirnya terlampir di bagian belakang laporan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA


Ardiana, Ismandari, 1988, Faktor yang Mempengaruhi Keberangkatan Tenaga Kerja Wanita ke Arab Saudi. Skripsi Sarjana Antroplogi. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM

Arivia, Gadis, 1999, “Catatan Perjalanan Suara Ibu Perduli (SIP)”, Jurnal Perempuan


Baidlow,. Masduki. H., 21 Maret 2005 “Dukungan Politik, Hukum dan Sosial Bagi Penanggulangan Masalah Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Lingkungan Pariwisata”, Press Release PB NU

Berninghausen, Jutta & Birgit Kerstan. 1992. Forging New Path: Feminist Sosial Methodology and Rural Women in Java, London & New Jersey: Sed Book Ltd.


Chodorow, Nancy.. 1978. The Reproduction of Mothering, University of California Press, California.

Creswell, John W, 1994 Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, London, New Delhi, Sage Publication, 1994.

Denzim, Norman. K, 1994 Yuonnalincoln (ed), Handbook of Qualitative Research, London, New Delhi


Fetterman, D.M. 1989. Ethnographic Step by Step, Newbury Park, CA: Sage

Hadiz, Liza. 1998. “Keibuan dan Konteks Ekonomi Politiknya”. Jurnal Perempuan No. 05 November-Januari

Harsa, Leany Nani 2006. “Dampak sosial kultural Ketidakhadiran Ibu Dalam Keluarga” TKW Studi kasus: Keluarga TKW di Kabupaten Indramayu, Laporan Dikti

Hidajadi, Miranti, “Hubungan Ibu dan Anak Perempuan; Sebuah Distorsi?”. Jurnal Perempuan No. 16.

Irwanto, 2006, Focused Group Discussion, Yayasan Obor

Kalyanamedia. Jurnal Edisi 1 No 4 Desember 2004

Kompas, 8 September 2006

Krisnawati, Tati, dkk, 1998. “Feminisasi Buruh Migran dan Permasalahannya”, Jurnal Perempuan No. 05, November-Januari.

Mafriana, Sandra Bhakti, dan Syakrani. 1999. “Kerja Keras, Kontrol Terbatas”, Jurnal Perempuan Edisi 11, Mei-Juli.

Oppenheimer, Valerie Kincade. 1977. “The Sociology of Women’s Economic Role in the Family”. American Sociological Review, Vol 42, no 3.

Pambudy. Ninuk M. dan Jimmy S. Harianto. “Rabu Sore di Gabus Wetan” , Kompas 8 Oktober 2006

Pambudy. Ninuk M. dan Jimmy S. Harianto. “Saatnya Rehat di Indramayu” , Kompas 8 Oktober 2006

Roper J.M & Shapira J., 2000 Ethnography in Nursing Research . Thousand Oaks CA: Sage

Sadli, Saparinah. “Sosok Baru Wanita Indonesia”. Tempo, 13 Februari 1988.

Sitepu, Henny Supolo “Ibu Rumah Tangga, Pilihan atau Kewajiban?” Kompas 24 April 1994

Soetrisno Loekman, Prof. Dr. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan Perempuan, Yogyakarta: Kanisius

Spardley J.P. ,1979, The Ethnographic Interview, New York: Holt, Rainchart and Winston

Susmanto, 2001. “Buruh Perempuan Indonesia, Sebuah Catatan Pendahuluan”, Jurnal Perempuan, No. 18.

Syaifuddin Achmad Fedyani, Irwan Martua Hidayana, 1999, “Seksualitas Remaja”, Sinar Harapan Bekerjasama dengan Laboratorium Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999.


Tjandraningsih, Indrasari. 1999. “Krisis Ekonomi dan PHK, Maknanya Bagi Perempuan”. Jurnal Perempuan, Edisi 11, Mei-Juli.

Utomo, Y. Priyo, 1990. Perjalanan Nasib TKI-TKW. Jakarta: PT Gramedia
selangkapnya..

KUNJUNGI SPONSOR INI